Kay mengoleskan selai di atas roti yang baru saja selesai dipanggang. Kay melirik jam. Sudah jam delapan kurang sepuluh menit. Tinggal sebentar lagi, karena Daniel adalah tipe lelaki yang tepat waktu, ketika pertemuan pertama mereka, Daniel datang tepat jam tujuh tidak kurang tidak lebih.
Kay menyudahi sarapannya ketika sadar jarum panjang sudah berapa di angka dua belas. Sambil mengambil tasnya di sofa, Kay mengintik ke jendela yang langsung menghadap jalan. Disana ada lelaki sedang berdiri di bawah pohon sambil kakinya yang memain-mainkan daun yang berguguran di jalan depan rumah, dengan kaos polos putih dilapisi jaket kulit hitam sebagai luaran, mengisap rorok yang terselip di sela jemari tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang sketchbook yang menjadi penyebab keduanya bertemu. Kay langsung tahu itu Daniel, membuat dirinya langsung tersenyum. Kay bergegas keluar dan mengunci pintu. Menghampiri Daniel begitu dirasa pintu sudah terkunci dengan benar.
“Hai.”
“Hei. Maaf saya nggak langsung mencet bel, mau abisin rokok dulu.” Daniel menarik satu isapan terakhir lalu langsung mematikan rokok ke pinggir tempat sampah dan membuang putungnya.
“It’s okay, tadi aku liat kamu dari jendela jadi aku langsung keluar. So where are we going today?”
“Kamu maunya ke mana?”
“I’m tagging you along, so i’ll just go wherever you want to go. Aku ngikut.”
Daniel mengangguk dan menunjuk ke utara. “Lewat sini.”
Kay mengikuti langkah Daniel menyusuri trotoar. Tidak ada percakapan di antara mereka, entah karena Daniel yang memang pendiam atau bingung dengan topik pembicaraan, sama seperti Kay yang juga tidak tahu harus mengobrol tentang apa. Hanya ada suara kendaraan yang menemani kesunyian di antara keduanya.
Kay tahu ini memang gila. Meng-iya-kan ajakan laki-laki yang baru dia kenal dan belum dia ketahui latar belakangnya dengan jelas walaupun Kay tahu siapa Daniel dan apa profesi laki-laki itu. Yang dimaksud latar belakang disini adalah bagaimana cara Daniel bersikap dan kepribadiannya. But he seems harmless. He is harmless, right?
Berkali-kali Kay mengucapkan ini dalam hati ketika berjalan di sebelah laki-laki “asing” ini tadi, sampai sekarang, ketika dia dengan sukarela mengikuti langkah kaki Daniel membawa Kay. Paling tidak sejauh ini Daniel tidak pernah bersikap tidak sopan atau hal aneh lain.
And there it is. Tepat di tengah-tengah pasar berdiri patung Jan Breydel dan Pieter de Coninck, dua pahlawan yang terkenal di tahun 1302 dan menjadi pemimpin perlawanan bangsa Flemish melawan raja Prancis.
“Ini yang mau kamu gambar?” tanya Kay.
Daniel mengangguk. “Kita jalan keliling dulu aja, sekalian cari tempat.”
Kay kembali mengikutinya, mengitari Market Square atau alun-alun sekaligus pasar yang berada tepat di jantung kota, Daniel banyak menengadahkan kepala untuk mengamati detail patung.
“Kamu tahu nggak, di tempat ini, beragam festival, pameran, turnamen, pemberontakan bahkan eksekusi dulu dilakukan disini. Sekitar tahun 1990an, alun-alun ini direnovasi besar-besaran dan cukup banyak bagian yang dihilangkan termasuk lahan parkir dan jadi bebas lalu lintas. That’s what makes this city feel so luxurious and friendly.” Dan semudah itu juga, Daniel mulai bercerita panjang lebar tentang sejarah pusat kota ini, mengiringi langkah mereka, yang membuat Kay sempat terdiam.
“Sebenernya alun-alun ini lebih berbentuk lingkaran daripada persegi. Karena, kalau kita berdiri di tengah,” ucap Daniel sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. “di sekitar patung, kita bisa memutari lingkaran lengkap dan melihat lingkaran bangunan yang indah, termasuk menara tempat lonceng bergantung.”
Daniel berhenti bicara ketika menyadari Kay yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Daniel melepas jaketnya dan menyampirkannya pada bahu Kay.
“Eh, nggak usah, nanti kamu kedinginan,” ujar Kay menolak.
“Saya gampang. Yang penting kamu hangat dulu.”
Daniel mengatakan ini tanpa menoleh dan tidak menyadari perubahan ekspresi pada wajah Kay. Bukan hanya ekspresi wajah saja, tapi Kay juga merasakan sensasi kupu-kupu yang berterbangan menggelitik memenuhi perutnya. Kay terpaku sesaat, lalu cepat-cepat menggeleng dan mengusir jauh-jauh pikiran yang tadi membuatnya merasakan sensasi kupu-kupu terbang.
“Kita cari tempat duduk indoor aja,” lanjut Daniel sebelum Kay sempat menjawab, langsung berjalan karena tahu Kay pasti akan mengekorinya.
Daniel membawanya masuk ke Sint Joris yang berada sangat dekat dari tujuan mereka, yang pagi itu masih sepi, baru terisi dua meja.
Duduk berhadapan, mereka memesan dua cangkir cappucino panas. Daniel mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan meletakkannya di meja, lalu langsung membuka buku sketsa dan mengeluarkan pensil dari sakunya, mulai mencoret-coret disana. Mengabaikan Kay. Maybe he’s sketching it based on what’s in his head memory, pikir Kay.
Kay memilih menyibukkan diri daripada merusak konsentrasi Daniel. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas, mulai mengambil gambar sampai kameranya mengarah ke Daniel yang sibuk dengan buku sketsanya. Kay mengambil gambar Daniel. Kay tersenyum. He look so gorgeous.
“Sebentar ya,” Daniel tiba-tiba memundurkan kursinya dan bangkit membuat Kay ikut terperanjak akibat terkejut. Dia takut kalau Daniel menyadari hal yang baru saja Kay lakukan, memotret dirinya. Seperti yang selalu Daniel lakukan, dan Kay juga sudah mulai terbiasa, tanpa menunggu tanggapan Daniel langsung melangkah keluar, membawa buku sketsa dan pensilnya. Dari tempatnya duduk Kay bisa melihat Daniel yang berdiri bersandar ke dinding mulai menggambar lagi.
That guy is… Kay tidak menemukan kata yang pas untuk mendefinisikannya dengan kata-kata. Mysterious? Fascinating? Weird? Interesting? Kay juga merasakan ada keanehan di dalam dirinya saat ini. Apa yang dia tahu tentang Daniel? Cuma nama lengkap, dia suka menggambar, arsitek yang punya perusahaan di jakarta, seseorang yang baru aja Kay kenal. Technically she doesn’t know this guy, but she here, follows him around like a duck that has lost its mother.
Detik itulah ponsel Daniel dan Kay berdering bersamaan.